Senin, 19 Februari 2018

BALADA THERY DAN MIRA

Wula Maria Theresia (Thery) dan Lejo Maria Veneranda (Mira), adalah dua pejabat perempuan dari Kabupaten Nagekeo yang divonis 3 tahun penjara bersama Oswaldus Muwa Tunga, Fan Romanus Jawa Mega dan Lengu Marselinus dalam kasus pengadaan anakan mangga di Kabupaten Nagekeo. Dengan bahasa hukum banyak sekali istilah-istilah yang dikenakan kepada lima anggota Panitia Pengadaan Anakan Mangga di Kabupaten Nagekeo itu. Tetapi dengan gencarnya berita di media masa tentang kasus ini, orang awam mengatakan mereka terkena kasus korupsi.
Di era reformasi, ketika mendengar kata korupsi semua orang berusaha untuk tampil paling depan melawan korupsi. Partai yang kini berkuasa pun, menampilkan jargon, “katakan tidak pada korupsi”. Tetapi kenyataannya, sejak Bendaharanya diketahui kurupsi, maka satu persatu pengurus teras partai itu digelandang Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) termasuk sang Ketua Umum yang sebelumnya mengatakan kalau dia makan uang satu rupiah saja dia bersedia digantung di Monas.
Mendengar kata korupsi, tentu orang membayangkan koruptor atau tersangka koruptor itu seperti Gayus Tambunan, Djoko Susilo, M. Nazarudin, Angelina Sondakh, Miranda Gultom, Anas Urbaningrum dan lain-lain yang bergelimang harta dan fasilitas. Dengan alasan itu, ketika mereka ditangkap, menjadi berita besar di media masa dan mengundang tanggapan dan pendapat dari berbagai pihak. Lalu, bagaimana dengan Thery, Mira dan kawan-kawan Panitia Pengadaan Anakan Mangga di Kabupaten Nagekeo?
Saya mengenal baik Thery dan Mira. Thery adalah teman guru saya ketika sama-sama mengajar di SPP/SPMA St. Isidorus Boawae, sejak sekitar tahun 1987. Pada tahun 2000, saya tidak lagi mengajar, tetapi Thery masih setia mengajar. Dia anak seorang guru sederhana dari Aemere. Kemudian nasib baik membawanya diterima sebagai PNS. Karena tugas sebagai PNS, dia pindah ke Bajawa kemudian ke Mbay dan terakhir menjadi Sekretaris Dinas Pertanian, Peternakan dan Perkebunan. Dalam jabatan itulah dia dipercaya menjadi Ketua Panitia Pengadaan Anakan Mangga yang kemudian menyeretnya terlibat dalam kasus korupsi. Karena kecintaannya pada SPP/SPMA St. Isidorus yang mempunyai visi dan misi mendidik calon petani yang mandiri dengan kemampuan wirausaha yang memadai, dan berkat pengetahuan dan ketrampilannya sebagai Sarjana Peternakan, dia masih membantu mengajar sebagai tenaga paruh waktu di SPP/SPMA yang kini menjadi SMK-SPP St. Isidorus. Ibu dua anak ini menikah dengan teman gurunya yang kini masih setia mengabdi sebagai Guru PNS di SMK-SPP St. Isidorus.
Mira, saya kenal baik juga karena masih ada hubungan kekerabatan. Dia juga anak seorang guru sederhana dari Leguderu, Kecamatan Boawae. Setelah menamatkan studi sampai mendapat gelar Sarjana Pertanian, Mira masuk dalam jajaran pencari kerja di Kabupaten Ngada. Ia menikah dengan seorang PNS di Kabupaten Ngada dan kini di Kabupaten Nagekeo. Setelah melamar kiri kanan akhirnya Mira juga diterima menjadi PNS. Mira berkarya dari jenjang paling bawah di Kecamatan Boawae sambil mengikuti suaminya yang pernah bertugas sebagai Camat. Kemudian sambil menjalani peran gandanya sebagai wanita karier dan ibu rumah tangga, dia terus meniti karier hingga menjadi salah satu Kepala Bidang pada Dinas Pertanian, Peternakan dan Perkebunan Kabupaten Nagekeo. Dalam jabatan inilah dia ditugaskan menjadi salah satu anggota Panitia Pengadaan Anakan Mangga di Kabupaten Nagekeo.
Dari kacamata awam, mereka telah sukses melaksanakan tugas sesuai dengan kewenangan yang diberikan kepada mereka. Mereka melakukan proses tender dengan baik yang dibuktikan dengan tidak adanya protes dari rekanan lain atau pihak mana pun. Mereka berhasil menetapkan pemenang tender dan kontraktor yang memenangkan tender telah melakukan tugasnya melakukan pengadaan anakan mangga sesuai kontrak kerja dan sudah pula dibagikan kepada masyarakat. Masyarakat pun sudah menerima pembagian anakan mangga. Tugas mereka hanya sampai disini dan ketika masyarakat sudah menerima anakan mangga dari konraktor, seharusnya tugas mereka sudah selesai.
Namun, fakta berbicara lain. Entah mendapat info dari mana Tim Pidana Korupsi (Tipikor) dari Polres Ngada mulai melakukan pengumpulan bahan dan keterangan (pulbaket), melakukan penyelidikan, penyidikan dan akhirnya menetapkan Thery, Mira dan kawan-kawan menjadi tersangka, terdakwa dan kini terpidana meskipun belum memperoleh kekuatan hukum tetap karena Jaksa Penuntut Umum menyatakan banding.
Sebagai orang yang mengenal baik Thery dan Mira, saya tidak melihat ada perubahan signifikan pada keluarga mereka. Mereka adalah keluarga PNS yang biasa-biasa saja. Mereka tidak memiliki harta berlimpah. Mereka memiliki rumah dari hasil keringat sendiri yang dibangun bertahun-tahun. Rumah Mira di kampungnya di desa Kelewae bahkan belum selesai dengan sempurna karena alasan pekerjaan mereka lebih banyak berada di tempat tugas. Mereka tidak memiliki mobil pribadi kecuali motor. Thery misalnya setiap Jumat atau Sabtu harus menumpang kendaraan umum dari Mbay untuk kembali dan berkumpul dengan keluarganya di Boawae. Mereka benar-benar tidak ada tampang koruptor.
Mereka bukan koruptor juga nampak dari keputusan Pengadilan Tipikor yang dijatuhkan kepada mereka. Meskipun menggunakan bahasa berbelit-belit sebagaimana layaknya bahasa hukum di Indonesia, paham awam saya menangkap bahwa perbuatan mereka tidak merugikan negara atau memperkaya diri sendiri. Mereka hanya dianggap melakukan penyalahgunaan kewenangan yang menyebabkan Saksi Adrianus Satung sebagai kuasa direktur dan PT Ranaka Makmur Indah sebagai korporasi telah memperoleh keuntungan yang berpotensi merugikan keuangan negara. Dan oleh karenanya mereka divonis tiga tahun penjara dari tuntutan jaksa 5,5 tahun. (baca Flores Pos, Sabtu, 2 Maret 2013)
Kita bisa berpendapat macam-macam tentang vonis ini. Para terdakwa sudah pasrah dan menerimanya. Tetapi Jaksa menganggap vonis ini terlalu ringan sehingga perlu menyatakan banding. Tetapi pernahkah kita berpikir, sebagai ibu rumah tangga dan isteri yang juga berprofesi sebagai PNS mereka telah menerima hukuman yang jauh lebih berat dari sekedar vonis tiga tahun Majelias Hakim?
Sejak ditetapkan sebagai tersangka dan menjadi berita utama media masa, mereka sudah dicap sebagai koruptor. Mereka ditahan meskipun mereka sebenarnya tidak mungkin menghilangkan barang bukti, mengulangi perbuatan dan melarikan diri. Ketika mereka ditahan, keluarganya mengalami beban psikologis yang sangat berat terutama anak-anak yang sulit menerima kenyataa ibu mereka dituduh melakukan korupsi. Banyak urusan keluarga terbengkelai. Mereka mengalami kerugian moril dan materil karena untuk menghadapi perkara ini mereka membutuhkan uang bukan untuk menyuap Polisi, Jaksa atau Hakim seperti terdakwa yang memiliki uang dan kuasa, melainkan hanya untuk membayar pengacara dan transportasi keluarga mengunjungi mereka. Saya dua kali mengunjungi mereka di rutan Bajawa dan Kupang. Mereka kelihatan sabar dan pasrah tetapi juga menceriterakan perasaan mereka yang merasa sepertinya menjadi korban permainan hukum yang mereka tidak pahami. Mereka juga diintimidasi untuk mengakui hal-hal yang sebenarnya mereka sendiri tidak mengerti. Ada sms-sms tidak bertanggungjawab yang meminta mereka menyiapkan uang agar mereka bebas dari segala tuntutan. Selama ditahan, pasti banyak hak-hak mereka sebagai PNS yang tidak mereka dapatkan lagi.
Pukulan paling telak bagi Thery, Mira dan kawan-kawan adalah keterangan Sekretaris Daerah Kabupaten Nagekeo, Julius Lawotan yang dilansir Flores Pos, Jumat, 8 Maret 2013 dengan judul Terdakwa Kasus Mangga Terancam Dipecat. Kita tidak tahu apa maksud Pak Sekda dengan penjelasannya yang panjang lebar di koran itu. Tetapi penjelasan itu telah membuat PNS yang bersertifikat pengadaan barang dan jasa menolak menjadi Panitia Tender. Mereka merasa tidak ada dukungan dan perlindungan dari atasan mereka meskipun mereka sadar bahwa sebagai PNS yang bertanggungjawab, bila mereka bersalah, mereka siap dihukum. Hal ini nampak dari curahan hati seorang PNS di kolom Aspirasi Flores Pos pada Sabtu, 9 Maret 2013, dengan judul Pernyataan Sekda Nagekeo Meresahkan Staf. Dan dari sumber yang dapat dipercaya, ada 40 staf yang menjadi Panitia Tender bertemu Sekda dan Bupati untuk klarifikasi pernyataan Sekda tersebut. Sayang, sumber tersebut tidak menjelaskan bagaimana hasil pertemuan itu. Dan kalau staf merasa tidak didukung bisa saja benar, karena bila dengan masalah Kuasa Direktur sebagaimana yang terjadi pada Proyek Anakan Mangga orang bisa dihukum maka akan banyak lagi Panitia Tender yang masuk bui karena praktek Kuasa Direktur atau istilah awamnya pinjam bendera sudah sangat lazim terjadi. Disini peran Bagian Hukum pada Sekretariat Daerah Kabupaten Nagekeo menjadi penting untuk memberikan telaahan hukum apakah praktek ini benar atau tidak. Kalau dapat dilaksanakans seharusnya Kepala Bagian Hukum berani tampil di Pengadilan Tipikor menjadi saksi yang meringankan bagi Thery,Mira dan kawan-kawan bahwa hal ini tidak melawan hukum. Tetapi semuanya sudah terlambat. Thery, Mira dan kawan-kawan terlanjur divonis bersalah dan terancam dipecat dari PNS. Nasib!
Saya menulis opini ini bukan bermaksud menghalangi upaya pemberantasan korupsi. Hanyalah sebuah seruan agar penegakan hukum harus dilakukan dengan seadil-adilnya. Pisau keadilan dan hukum di negeri ini jangan hanya tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Semoga Mira,Thery dan kawan-kawan adalah korban terakhir staf yang dijadikan sasaran tembak. Semoga.

Terima kasih sudah membaca artikel in....

Penulis: mohamad sahwi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar